Monolog Nasib Pak Tua
“Nasib Pak Tua”
(dimulai dari instrument “lagu Pak Tua” dengan
kunci dasar E”)
Setting:
Layar terbuka Suasana agak temaram, kira-kira pukul 18.00. Seorang laki-laki,
agak tua, sekitar 60 tahun, kerutan diwajah tampak tergurat, kulit sawo matang
duduk disebuah kursi menghadap kedepan. Laki-laki tua duduk santai, kaki
diselunjur kedepan, tangan kanan memegang sebotol vodka, tangan kiri
mengayun-ayun. Kepala menyandar ke kursi, menghadap keatas, bertopi koboi.
Disebelah kursi sekitar 1 meter ada sebuah meja persegi sedang dengan taplak
yang kusam dengan sebuah lampu teplok dengan cahaya yang temaram. Selain lampu,
ada sepiring nasi sudah basi, sepertinya sudah dua hari. Selain itu, sebuah
buku tulis lusuh juga sebuah mini tape yang sudah usang. Pak Tua (PT): Sudah 5
tahun (duduk dengan benar, seperti menghitung dengan jari tangan kiri, dengan
wajah serius) iya (seperti terkejut) benar, sudah 5 tahun (kembali keposisi
semula) apa yang telah kulakukan selama lima tahun ini? Kenapa tidak punya
uang? (menegak minumannya, kemudian duduk benar menunduk) PT: (mengangkat
kepala) sahabat-sahabatku pasti sudah ada diseberang benua sekarang (tertawa)
awalnya mereka kutipu dengan peta harta karun palsu (tertawa tambah
terbahak-bahak) mereka kutipu! Hahaha, mereka tertipu! (tertawa dengan sesekali
meneguk minumannya) PT: Tapi kenapa Syarif si tukang ayam bercerita bahwa
mereka benar-benar menemukan harta karun disana dan hidup kaya raya (berhenti
tertawa dan kembali menunduk) Syarif pasti berbohong (berdiri) pasti
(mengacungkan jari telunjuk kedepan) pasti laki-laki dengan wangi usus unggas
itu menipuku? Dia kira aku akan tertipu? (menggaruk kepala yang tidak gatal)
tapi Syarif bukan penipu (ekspresi bingung) aku kenal dia sejak dia dan aku
masih sama-sama bujangan, hingga dia sudah punya 6 cucu sedangkan aku masih
bujangan hingga hari ini. Pak Tua berjalan mondar-mandir sempoyongan, seperti
berfikir keras, sambil sesekali menegak minumannya. PT: Jangan-jangan peta
sesuai imajinasiku saja tapi benar-benar nyata? Kudengar kapal besar Spanyol
memang pernah karam disana (statis) kenapa aku tidak pergi duluan kesana (penuh
sesal) kenapa aku tidak pergi kesana? (kembali duduk) tunggu (seperti teringat
sesuatu) aku masih menyimpan draft peta itu dibukuku (bergegas menuju meja dan
mengambil buku kembali ketempat duduk) hahaha (sambil membuka buku) kalau benar
masih ada, tentu aku bisa menyusul dan ikut kaya (tertawa sambil membuka buku
perlembar) benar. Cukup lama Pak Tua membolak-balik buku, mencari dengan
teliti. Merasa pencahayaan kurang, dia menarik kursinya kedekat meja kemudian
membesarkan nyala lampu teploknya. PT: Ini dia! (menunjuk halaman yang dicari)
aku dapat draft petanya! Baik, sekarang waktunya bergegas dan berlayar!
Berlayarlah-berlayarlah! Hahaha (berdiri dan bersiap hendak bergegas, tiba-tiba
terdiam) tapi (jeda) pasti harta itu sudah habis, yah sudah disikat tanpa ampun
oleh dua babi tua itu! Aku tidak akan kebagian. (menarik nafas panjang) aku
tidak akan kebagian (kembali duduk) atau aku berimajinasi kembali dan membuat
peta baru, kali ini lokasinya tidak usah jauh-jauh, dibelakang rumahku saja, hahaha
aku pasti akan kaya, tunggu saja aku pasti akan kaya! (berdiri dan mencari
pena) PT: (mencari pena hingga kebawah meja, kemudian berhanti mencari) dimana
penaku? Bagai mana aku bisa membuat peta kalau aku tidak ada pena? (bingung)
tunggu, (balik kekursi, duduk sambil menegak minumannya) memangnya kapal
Spanyol pernah karam dibelakang rumahku? (kembali menggaruk kepalanya yang
tidak gatal, bingung) Lagi pula kapan Syarif bertemu dengan mereka, Syarif
pasti mengarang cerita. Tak ubahnya seperti seekor kancil tua yang mencoba
menipu singa tua, hahaha, Syarif pasti bohong (seketika sedih) kenapa Syarif
menipuku? Apa salahku padanya? Bukankah ketika dia menikah dulu, aku yang
menjadi juru bicaranya waktu Bekulo karena dia anak yatim piatu dan tidak
bersanak keluarga disini! (menahan amarah) bukankah aku yang mengenalkan dia
dengan pacarnya yang kemudian jadi istrinya! (semakin marah, menggenggam tinju
kedua tangannya) bukankah aku dengan motor bututku yang mengantarkannya hingga
ke simpang Bukit dulu hanya dia ngapel calon istrinya! (semakin marah) kenapa
dia menipuku? (dengan lantang) Seperti kelelahan, kembali duduk dan istirahat
PT: Tapi? Siapa yang menyatakan bahwa dia menipuku? Bukankah dia sahabat
karibku (menegak minumannya) lagi pula apa untungnya dia menipuku? Ah! Peduli
setan, aku tidak perlu meminta maaf kepadanya, (berfikir) dia tidak tahu kalau
aku tadi marah padanya,(terdiam sesaat) tapi bukankah aku tadi telah
memfitnahnya! Fitnah lebih kejam dari membunuh! Membunuh lebih kejam dari
memperkosa! (kembali berfikir, berdiri, seperti ketakutan) berarti aku lebih
parah dari memperkosanya? Tidak-tidak! Aku lelaki normal! ( kembali duduk,
diam) Pak tua mengambil mini tape diatas meja dan memutarnya. Terdengar suara
instrument lagu “Lotus Feet” dengan gitar akustik, pak tua mendengarkannya
dengan seksama seakan ikut terhanyut dengan lagu itu. Sambil sesekali meneguk
minumannya. Lagu seketika terhenti, Pak Tua terbangun. PT: Berimajinasi!
Kembali berimajinasi! Bukankah imajinasi lebih berharaga dari ilmu pasti!
Pasti! (berturut-turut : berjalan mondar-mandir sempoyongan, hampir terjatuh
didekat meja dan berpegangan pada meja, menegak minuman, berhenti, menghadap
jauh kedepan, menatap kosong, terbelalak, duduk diatas meja) Hebat! Hebat
sekali! Benar-benar-benar! Aku harus berimajinasi dan bermimpi! Hidup ini
diawali dengan mimpi dan diakhiri dengan mimpi, aku harus bermimpi, iya
(semakin bersemangat) aku harus bermimpi! Coba kalau aku banyak habiskan waktu
untuk bermimpi dari dulu, pasti saat ini aku sudah bisa menata kehidupanku,
benar, menata menjadi lebih baik (turun dari atas meja, berjalan kesudut
panggung kanan depan dan kembali duduk dengan tangan memeluk kedua kaki
didepan, memejamkan mata) Cukup lama Pak Tua memejamkan mata, diiringi dengan
chorus “lagu Pak Tua”. Tiba-tiba, suara gitar menjadi semakin keras dan
terhenti ketika Pak Tua terbangun. PT: Anjing! Kenapa aku tidak bisa bermimpi!
Aku harus bisa bermimpi! Hanya hitam saja!(bingung, terdiam, memegangi perut)
atau jangan-jangan lapar ini yang mengganggu konsentrasiku untuk bermimpi
indah! Dasar bodoh kau perut tua!(memarahi perut sendiri) Otak yang berfikir,
kau yang minta diisi! Dimana otakmu! Kenapa Tuhan tidak membuat kau punya otak
sendiri, seperti semacam chip begitu! (capek, selunjurkan kaki, tangan menopang
tubuh dibelakang, melihat atas) PT: (masih melihat atas) coba kalau masa mudaku
tidak kuhabiskan dengan membunuh, dan merampok! Tentu masa tuaku akan bahagia
(jeda, menegak minumannya) sekarang! Jangankan wanita, kambing betina pun tak sudi
kuperistri! (kembali duduk biasa dengan kaki masih diselunjurkan kedepan) aku
tahu menyesal tidak berguna, seandainya mesin waktu di film kartun itu
benar-benar ada (berfikir, menegak minumannya) Film kartun! Yah film kartun!
(berdiri) tapi, TV 14 inch tanpa warna itupun telah kujual 2 minggu yang lalu
untuk beli nasi! Aku tidak bisa nonton film kartun sekarang! Gila! Untuk beli
nasi pun aku harus menjual TV (kembali duduk dengan lesu) PT: (seperti teringat
sesuatu) Benar, nasi! Aku baru ingat bahwa aku lapar dan tidak bisa bermimpi
tadi (berturut-turut: bangun, menuju meja, melihat nasi, mengambil nasi
segenggam dan memakannya, muntah) Anjing tua! Nasi ini basi! Sudah berapa hari
disini! Dasar gila! Kau mau membunuhku! (marah sambil menunjuk sepiring nasi,
berhenti, kembali ke sudut panggung kanan depan, duduk dibawah) lalu bagaimana
sekarang! (menunduk, menangis tersedu, kemudian tertawa, menghadap depan) PT:
(menghitung dengan jari, sambil sesekali meneguk minumannya) sambil menghitung
aku masih ada kursi, meja, lampu, sebuah piring lengkap dengan nasinya yang
sudah basi, buku, mini tape dan (terhenti, agak ragu) baju dibadanku. (melihat
berkeliling dengan menyeringai, menegak minuman) yang mana? Yang mana akan
kujual terlebih dahulu? (menunjuk seluruh benda yang berada dirumahnya,
tunjuknya berhenti pada kursi) Nah! Kamu duluan! Engkau harus berkorban demi
aku! Haha! Lumayan, pasti kau laku sekitar 10 ribu rupiah! Hahaha(terhenti)
tapi dimana aku akan duduk! Kenapa aku harus pusing, toh tadi aku duduk di
sana(menunjuk sudut kanan panggung) dan disana (menunjuk meja). (berjalan
menuju kursi dan mengangkatnya) Tunggu! Sebelum kau kujual, izinkan aku
mendudukimu dulu untuk terakhir kali (duduk di kursi) Eh! Kau seperti
keberatan! (melihat pada kursi) kau keberatan aku duduk diatasmu untuk terakhir
kali hah (mendekatkan telinga ke kursi, wajah fokus mendengarkan, terkejut)
Hah! Kau keberatan kujual? Jangan begitu (menegak minuman, namun sudah habis,
melihat kebotol dengan seksama) kau juga mau mencari masalah denganku! Sama
seperti kursi, kau pasti juga akan kujual! (kembali melirik kursi) jangan kau
menatapku seperti itu, kau tega aku mati kelaparan! Yang lebih parah lagi, aku
tidak bisa bermimpi untuk masa depanku! (mendekatkan telinga kekursi,
mendengar) Pak Tua tertunduk lesu, meletakkan botol kosong bekas minumannya ke
atas meja dekat lampu kemudian berjalan dengan lesu kesudut kanan panggung,
kemudian duduk. PT: Kau benar kursi! Untuk apa aku memikir masa depan! Aku
sudah tua, sudah renta! Bila Azis, si tukang kayu mati umur 59 dan Jidin si
tukang bubur juga mati umur 63, kapan aku mati! Aku sudah 60 tahun sekarang!
Kenapa aku tidak mati-mati juga! Jadi aku tidak pusing memikirkan perutku lagi!
Maafkan aku kursi, kau benar. Aku sudah harusnya memikirkan akhirat, (terdiam,
menghadap depan lesu dengan tatapan kosong) tapi! (tersadar) saat ini aku perlu
makan! Mau tidak mau aku akan tetap menjualmu! (menghadap kekursi sebentar,
kemudian menghadap kedepan) meskipun aku tidak berarti 3 atau 5 tahun kedepan!
Tapi aku harus berarti hari ini! Izinkan aku makan agar dapat bermimpi dan bisa
menghasilkan sesuatu hari ini! Aku mohon (berdiri, berjalan sempoyongan kearah
kursi, menjatuhkan diri, bersimpuh pada kursi) aku mohon, izinkan aku
menjualmu, izinkan aku, aku mohon! (tersentak, mendekatkan telinga ke kursi)
terima kasih, kau benar-benar sahabatku, jaga dirimu baik-baik (berdiri,
memegang kursi) sampaikan salamku pada tuan barumu nanti (mengangkat kursi,
keluar dari panggung)
** SELESAI **
Komentar
Posting Komentar